Selasa, 12 Februari 2013

UU PENDANAAN TERORISME, CARA BARU RAMPOK UANG?

Sumber: VOA-Islam

RUU Pendanaan Terorisme Disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI

(PERANG DUNIA XXX) --- Jakarta// DPR RI  menyetujui ditetapkannya Rancangan Undang-Undangan (RUU) tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme menjadi Undang-Undang.
 
Persetujuan disepakati dalam rapat paripurna DPR RI setelah pembacaan hasil kerja Panitia Khusus (Pansus) tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme oleh Ketua Pansus, Adang Daradjatun.

"Apakah anggota Dewan yang terhormat dapat menerima dan menyetujui RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme untuk dijadikan Undang-Undang?" tanya pimpinan rapat paripurna DPR RI, Priyo Budi Santoso kepada 350 anggota DPR RI yang hadir, Jakarta, Selasa (12/2/2013).

"Setuju," jawab anggota DPR serentak.

DPR memandang penting penetapan RUU tersebut menjadi Undang-undang. "Proses pembentukan undang-undang ini pun telah mempertimbangkan kepentingan nasional dan internasional dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional," ujar Priyo.

Ketua Panitia Khusus RUU itu, Adang Daradjatun, menyampaikan ada isu-isu penting terkait menjadi fokus proses pembahasan. Salah satunya keperluan kerja sama internasional yang harus tetap mengutamakan kepentingan nasional.

"Kemudian, mekanisme pengawasan terhadap pengiriman uang yang diduga untuk mendanai terorisme, ini diperlukan agar institusi tidak sewenang-wenang," ujar Daradjatun.

Selain itu, kata dia, penetapan daftar terduga teroris harus melalui mekanisme yang dapat dipertanggungjawabkan dan juga harus objektif. 

RUU Pendanaan Terorisme Disahkan, Pemerintah jadi 'Perampok'

Setelah disetujui Ketua Pansus, Adang Daradjatun, Senin kemarin, DPR RI kemudian mengesahkan penetapan RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme menjadi undang-undang dalam rapat paripurna pada Selasa (12/2/2013).

Pengamat kontra-terorisme, Harits Abu Ulya justru melihat RUU yang disahkan menjadi undang-undang ini merupakan upaya pemerintah menyelaraskan dengan proyek barat dalam war on terrorism.

“Dalam kajian atas draft RUU pendanaan terorisme ini terkesan pemerintah hendak memberangus individu atau korporasi atau kelompok yang dicap teroris. Dan “nafsu” ini berdiri di atas paradigma yang salah kaprah sejak awal. Bahkan sangat terkesan pengesahan RUU adalah langkah penyelarasan atas proyek global Barat yang bernama WOT (war on terrorism) yang sangat pejoratif tendensius menjadikan umat Islam sebagai musuh dan bidikan,” kata Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) itu kepada voa-islam.com, Selasa (12/2/2013).

Harits mengungkapkan banyaknya pasal karet dalam RUU tersebut yang bisa digunakan untuk menjerat baik individu maupur korporasi lantaran hanya karena ‘patut diduga’ mendanai aksi terror.

“Dalam RUU ini memuat pasal karet, karena banyak frase “patut diduga”. Dan seseorang/korporasi/lembaga bisa dikenai UU ini hanya karena alasan patut diduga mendanai aksi teror langsung/tidak langsung,” ungkapnya.

Ia menjelaskan, ada diantara pasal RUU pendanaan terorisme tersebut yang begitu rentan disalahgunakan lembaga keuangan untuk memfitnah individu maupun korporasi terkait kasus terorisme.

“Dalam pasal 9 ayat 4 begitu rentannya disalahgunakan oleh lembaga keuangan (lebih dari 18 jenis) untuk memfitnah seseorang/korporasi/lembaga dengan alasan “patut diduga” kemudian melaporkan ke PPATK dengan delik tindak pidana terorisme. Ini cara-cara jahat, melibatkan banyak pihak dengan parameter yang kabur,” jelasnya.

Lebih dari itu, pemerintah seolah layaknya ‘perampok’ atas asset seseorang maupun korporasi hanya lantaran mereka diduga terlibat dalam pendanaan terorisme.

“Bahkan terkesan pemerintah ingin jadi seperti “perampok” atas aset korporasi jika mereka tertuduh terlibat dalam pendanaan aksi teror langsung atau tidak, lihat pasal 6 ayat 5d dan e,” tegasnya.

Anehnya menurut Harits, kejahatan korupsi yang jelas-jelas merugikan negara milyaran bahkan triliunan rupiah justru sama sekali tidak diberlakukan pasal seperti di atas.

“Dalam kejahatan besar, korupsi tidak diterapkan pasal ini, padahal korupsi juga melibatkan persekongkolan banyak orang dengan sebuah perusahaan atau departemen,” tandasnya. [Ahmed Widad]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar